Headlines News :
Home » » Tokoh Kita: Tina Talisa, Terjerumus Di Dunia Jurnalistik

Tokoh Kita: Tina Talisa, Terjerumus Di Dunia Jurnalistik

Jika anda rutin menonton berita tentu sudah tidak asing lagi dengan sosok cantik yang satu ini. Dia adalah Tina Talisa. Tina -begitu biasa disapa- merupakan presenter cantik yang wajahnya kerap wara-wiri tampil di acara Apa Kabar Indonesia Malam yg disiarkan TV One. Wanita kelahiran Bandung, Jawa Barat, 24 Desember 1979 ini pernah berprofesi sebagai dokter gigi. Pantas saja, sebab dia merupakan Lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung pada tahun 2001, namun tidak menyelesaikan co-ass nya.

Mantan finalis Puteri Indonesia 2003 ini tidak hanya memiliki paras cantik dan tubuh yang ideal tetapi juga memiliki otak yang cemerlang. Di beberapa ajang kontes kecantikan pun dirinya kerap meraih gelar, sebut saja dan Juara I Mojang Kota Bandung 2002 dan Juara I Mojang Jawa Barat 2003.


Sebelum berkarir sebagai news presenter, awal ketertarikannya di dunia broadcasting adalah saat ia bekerja di Radio Paramuda dan Radio Mustika. Kemudian, Tina memutuskan untuk hijrah ke televisi swasta nasional. Tina selalu hadir setiap sore dalam Reportase Sore, program berita di Trans TV. Pada Juni 2007, ia pindah ke Lativi yang sejak tahun 2008 ini berubah menjadi stasiun TV dengan fokus berita dan olahraga dengan nama TV ONE sebagai asisten produser merangkap news presenter.

Kini, ia merupakan pembawa acara program Apa Kabar Indonesia Malam yang rutin bersiaran di Wisma Nusantara, kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Selain sibuk menjalani pekerjaan sebagai news presenter, Tina disibukkan dengan aktivitas pendidikan untuk menunjang pengetahuannya dibidang komunikasi. Tina Talisa sekarang kuliah di Program Magister Ilmu Komunikasi di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung.

Tina mengaku menjadi jurnalis karena terjerumus. "Boleh dikata saya terjerumus tapi menyenangkan. Awalnya, orang tua menolak, sebab jadi dokter bisa menolong orang. Tapi akhirnya bisa paham pilihan jadi wartawan," kata Tina Talisa. Tina mengaku, sewaktu kecil dirinya bercita-cita menjadi seorang duta besar. Dalam benaknya, pekerjaan ini bisa bertemu banyak orang, lalu jalan-jalan ke luar negeri. Namun, dengan menekuni profesi sebagai jurnalis akhirnya mengantarnya bertemu bermacam orang.

Ya, cita-cita semasa kecil Tina akhirnya terwujud, ia dapat bertemu dan melakukan wawancara langsung dengan petinggi-petinggi negara, sebut saja Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Sejumlah anggota Kabinet Indonesia Bersatu dan Pimpinan Partai-partai Politik. Tina juga mendapat kesempatan terjun ke lapangan untuk melakukan peliputaan secara langsung baik dalam maupun luar negeri. Beberapa diantaranya adalah Pemilihan Presiden (2004), Kunjungan Wakil Presiden RI ke Beijing, Republik Rakyat China (2005), Bencana tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (2004), Bencana tsunami di Pangandaran, Jawa Barat (2006), Siaga 1 Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta (2006), Pertemuan CEO Perusahaan-perusahaan Dunia (Forbes CEO Conference) di Singapura (2007), Pembukaan The Venetian Macau di Macau, China (2007), Konvensi Nasional Partai Demokrat di Denver, Colorado, Amerika Serikat (Agustus 2008), Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Oktober-November 2008), Pemilu 2009.

Selama perjalanan karir sebagai jurnalis, Tina tidak pernah menyesali telah meninggalkan dunia kedokteran gigi. "Saya tidak pernah menyesal meninggalkan dunia kedokteran gigi,” katanya tegas. Satu pesan yang dia ingat dari seniornya, "Jangan jadi wartawan karena ditolak di pekerjaan lain. Tapi menggeluti dunia ini memang karena panggilan hati." ujarnya.

Member Beswan mendapat kesempatan langsung untuk mengenal lebih dekat dengan sosok Tina Talisa yakni dengan cara tanya jawab melalui artikel tokoh kita. 10 penanya yang beruntung di pilih Tina akan mendapatkan sebuah buku berjudul "Pak Beye dan Istananya". Berikut adalah penanya yang beruntung beserta jawabannya.[Septian /Redaksi]

Gilang Jiwana Adikara : Salam sejahtera mbak Tina sebagai seorang pekerja pers, tentu mbak harus mengikuti kode etik jurnalistik. Dalam pasal 1 KEJ, disebutkan "Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk." Masalahnya, ideologi dan independensi seorang jurnalis terkadang harus berbenturan dengan kepentingan pemilik media, baik secara ekonomi maupun politis. nah, bagaimana mbak Tina sebagai jurnalis memandang pentingnya ideologi dan independensi jurnalistik dan bagaimana mbak Tina mempertahankan ideologi dan independensi dibawah tekanan kepentingan pemilik media?
Tina Talisa: Salam sejahtera Gilang. Kajian mengenai media, khususnya TV biasanya berkaitan dengan tiga hal : ownership (kepemilikan), content (isi program) dan audience (pemirsa). TV adalah institusi yang harus berpegang pada kepentingan publik tetapi sebagai industri juga harus menguntungkan. Yang paling ideal adalah jika idealisme dan komersialisme dapat beriringan. Idealisme yang dilawan dengan mengalahkan independensi akan merugikan institusi media itu sendiri karena kredibilitasnya akan menurun dan pada gilirannya akan menurunkan jumlah pemirsa. Padahal jumlah pemirsa menentukan rating yang menjadi acuan pemasang iklan dan pada gilirannya menghasilkan uang bagi keberlangsungan dan peningkatan
kualitas TV sebagai industri. Wakil pemimpin redaksi tvOne sering mengatakan : jangan jadi anak durhaka bagi pemilik, tapi yang paling penting adalah jangan khianati pemirsa. Sukses selalu ya :)

Rini Kuswardani : Salam kenal kak Tina, saya mau bertanya, siapa tokoh yang paling anda segani dan berpengaruh terhadap karier anda? kemudian bagaimana menurut anda menanggapi sikap presenter yang terlalu memojokkan narasumber? dan apakah ada kritik terhadap cara anda menjadi presenter selama ini? Dan bagaimana anda menyikapinya?
Tina Talisa: Salam kenal Rini. Saya mengidolakan ayah saya yang mengajarkan kesederhanaan dan ketekunan. Sikap presenter yang dianggap terlalu memojokkan narasumber tentu sebaiknya tidak terjadi, tetapi hal tersebut sangat relatif. Bisa saja menurut pemirsa terkesan sangat memojokkan tapi yang bersangkutan (narasumber) tidak merasa demikian atau sebaliknya. Jadi tolok ukurnya bisa sangat subjektif. Dalam teknik wawancara memang ada teknik "cornering" yang berasal dari kata "corner" atau sudut. Sederhananya pembawa acara menggiring narasumber semakin dalam dan itu hal yang wajar saja. Di stasiun televisi BBC ada program bernama Hard Talk yang sering menggunakan teknik cornering. Yang penting adalah pewawancara dan yang diwawancarai menjaga hubungan baik dan profesionalisme masing-masing. Saya juga seringkali menggunakan teknik tersebut. Itu adalah salah satu cara yang dipakai untuk memancing narasumber mempertahankan argumentasi atau membantah. Sekali lagi itu wajar dilakukan dalam talkshow yang formatnya adalah exchange of ideas atau pertukaran gagasan. Yang perlu dijaga adalah sopan santun dan memastikan pada narasumber bahwa yang saya lakukan di layar adalah pekerjaan, di luar itu saya berhubungan baik dengan beliau-beliau bahkan beberapa diantaranya menjadi sahabat saya. Begitu pula kalau pemirsa melihat perdebatan sengit antara narasumber, itu tidak berarti permusuhan. Para narasumber berkomunikasi seperti biasa kembali setelah perdebatan usai. Kritik bagi saya adalah hal yang mutlak harus diterima dan bahkan dibutuhkan. Bahwa terkadang ada yang membuat tidak nyaman juga tidak bisa saya pungkiri, tapi bukan substansinya yang membuat tidak nyaman melainkan caranya. Saya sangat terbuka pada kritik dan memang saya sadari saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Itu menjadi bagian dari konsekuensi profesi saya. Salam hangat :)

Cahya Kharisma : Dear Tina Talisa, Ada sebuah pernyataan bahwa "Untuk menjadi News Presenter, syarat utama yang harus dipenuhi selain berwawasan luas adalah berpenampilan menarik, dan dalam hal Ini sering di artikan 'Berparas cantik atau rupawan'(dalam tanda kutip)". Yang saya Ingin tanyakan adalah : 1. Bagaimana Pendapat anda mengenai hal Tersebut? dan setujukah anda?. 2. Jika anda terlahir tidak berparas cantik dan menarik Apakah anda akan tetap "Memilih, dan Dipilih".. untuk Menjadi News Presenter. Mohon maaf sebelumnya jika Pertanyaan saya ini dirasa kurang berkenan. Sebuah kehormatan bagi saya, diberi kesempatan untuk bertanya kepada salah satu Presenter yang saya Idolakan selama ini. Terimakasih,Maju Terus Jurnalisme Indonesia.
Tina Talisa: Dear Cahya Kharisma, terima kasih untuk pertanyaannya. Saya sering sekali mendapat pertanyaan ini kalau diundang diskusi atau seminar tentang news presenter dan saya selalu senang menjawabnya. Penampilan itu penting tapi bukan hal terpenting karena yang terpenting dari seorang news presenter adalah kredibilitas. Saya sering bertanya seperti ini kepada peserta diskusi atau seminar : lebih cantik Rosiana Silalahi atau Dian Sastro? Hampir serempak semua menjawab Dian Sastro dengan lugas, apalagi kaum Adam. Pertanyaan saya berikutnya : siapa yang teman-teman anggap lebih kredibel membawakan berita, Rosiana Silalahi atau Dian Sastro? Jawaban biasanya lagi-lagi kompak, yaitu Rosiana Silalahi. Poin saya, ternyata nilai jual utama news presenter adalah kredibilitas, bukan penampilan fisik. Saya hanya ingin menjelaskan bahwa penampilan adalah nilai tambah dan wajar jika pemirsa juga menyenangi jika nilai tambah itu dimiliki oleh seorang news presenter yang kredibel dan berkualitas. Mengenai akankah saya dipilih menjadi news presenter jika tidak terlahir seperti saya adanya sekarang, pertanyaannya lebih tepat diajukan kepada yang memilih saya kelihatannya. Kalau soal "memilih", saya akan tetap berusaha menjadi jurnalis TV dan sekali lagi mengenai dipilih atau tidak, tentu haknya yang memilih untuk menjawab. Salam hangat :)

Sri Yuniar:
bismillah. assalamu'alaikum kak. Saya Yuni beswan Aceh. Saya sangat tertarik dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi dan masalah sosial. Saya sempat beberapa kali mengikuti pelatihan jurnalistik, sempat bergabung di radio, dan suka menulis. Akan tetapi saya adalah orang yang cukup emosional, sehingga terkadang saya kesulitan untuk menata bahasa dalam menulis atau berbicara, paling tidak saya butuh waktu lebih lama untuk mengkonsep bahasa jika ada hal2 yang cukup melibatkan emosi, bagaimana sih kak agar kita dapat memandang segala sesuatunya secara objektif dan tenang? serta sikap dan persiapan apakah yang paling diperlukan ketika kita sedang melakukan wawancara dengan tokoh2 terkemuka yang sangat mapan pengetahuannya?. terimakasih kak. wassalam :)
Tina Talisa: Wa'alaikumsalam Yuni. Saya senang kalau makin banyak jurnalis muda penuh semangat seperti Yuni. Persiapan yang paling penting sebelum wawancara adalah penguasaan materi tentang topik yang akan dibahas. Saya sering mengibaratkan jika akan mewawancarai itu seperti akan berperang dan senjatanya adalah isi kepala kita yang sudah dipenuhi pengetahuan soal materi wawancara. Kita bukan menjadi lebih tahu dari yang diwawancarai, tetapi paham apa yang perlu diketahui publik sehingga itulah yang ditanyakan kepada narasumber karena pada prinsipnya kita adalah perpanjangan tangan publik yang membutuhkan informasi. Sikap yang perlu disiapkan adalah percaya diri, santun dan egaliter. Kesopansantunan bukan berarti kemudian kita seperti "takut" kepada narasumber, kita harus menempatkan diri sejajar atau egaliter dengan yang diwawancarai tapi penuh rasa hormat. Terus semangat ya! :) M.Nurul Ikhsan : Republik Indonesia tercinta dalam dilema. Gejala kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia belum juga teratasi. Banyak anak-anak busung lapar di daerah terpencil, baik yang sempat disiarkan lewat pertelevisian maupun yang belum tersentuh sama sekali. Tidak berhenti disitu. Ditengah kesengsaraan masyarakat itu, para wakil rakyat malah memperlihatkan prilaku yang sebaliknya,melakukan tindak pidana korupsi, menghambur-hamburkan uang rakyat, bahkan mengambil gaji yang sebesar- besarnya dari negara. Sungguh ironis.Tentu, sebagai pemuda yang menjadi harapan akan perbaikan Republik Indonesia di masa depan harus berpikir keras dalam memajukan republik ini dari keterpurukan tersebut. Perlu adanya komitmen dalam diri setiap individu untuk menjawab tantangan tersebut. Menurut mbak Tina Talisa, yang memiliki pengetahuan banyak persoalan republik ini, komitmen seperti apakah yang seharusnya ditanamkan dalam diri setiap pemuda untuk mencerahkan republik tercinta di masa depan?
Tina Talisa: Ihsan, menurut saya setiap pemuda Indonesia harus memiliki semangat untuk menjadi pemimpin inspiratif yang menggerakkan lingkungan sekitarnya. Bukan pemimpin dalam artian yang terbatas pada struktur organisasi tertentu, melainkan pemimpin dari sisi nilai dan semangat. Saya senang dengan pernyataan yang pernah disampaikan mantan presiden AS John Quincy Adams yaitu "If your actions make others dream more, learn more, do more and become more, you are a leader". Saya berharap setiap pemuda Indonesia berlomba melakukan tindakan-tindakan yang menginspirasi orang-orang lain untuk bermimpi lebih, belajar lebih, berbuat lebih dan menjadi lebih baik di bidang apapun. Semoga kita menjadi pemimpin inspiratif tersebut. Salam cinta Indonesia! :)

Paulina Sie: Halo,Mba Tina.^^ Saya Paulina, dari Univ. Lampung. Pada kesempatan yang luar biasa ini, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepada Mba. Saya pernah membaca sebuah artikel dari seorang pengamat perkembangan dunia radio dan televisi Indonesia, yang juga merupakan pensiunan dari presenter salah satu stasiun TV di Indonesia..Walaupun ada beberapa kelebihan yang disebutkan di dalamnya, namun beberapa bagian artikel tersebut mengungkapkan sejumlah kritik untuk presenter berita aktual masa kini. Beliau mengungkapkan beberapa kelemahan, di antaranya: Masih sering ditemukan adanya presenter yang hanya bermodalkan fisik (paras dan suara yang "indah"), padahal belum tentu berita yang disampaikannya dapat benar2 diterima oleh pemirsa. Masih banyak reporter lapangan yang terkesan kaku dan berbicara tersendat-sendat. > Bahasa yang tidak baku sering digunakan. Pewawancara (interviewer) terkadang berbicara lebih banyak daripada narasumber, atau terkadang memotong pembicaraan dari si narasumber. Nah, bagaimana tanggapan Mba Tina mengenai hal tersebut? Lalu, dari Mba Tina sendiri, kira-kira topik apa yang paling disukai?(politik,hukum, sosial & budaya, atau yang lain?) Dan apa alasannya? Ohya, sebelumnya saya ada sebuah kalimat (saya temukan dari sebuah buku), yang menurut saya bagus untuk seorang presenter seperti Mba...^^ "GOOD COMMUNICATION OCCURS WHEN LISTENER OR VIEWER RECEIVES AN UNDISTORTED AND EFFECTIVE IMPRESSION OF THE IDEAS OF THE WRITER OR OF THE AD LIB SPEAKER, WITH PROPER EMPHASIS ON EACH OF THE PARTS THAT MAKE UP THE WHOLE." Terima kasih,Mba...Sukses selalu untuk kita semua...GbU..^^
Tina Talisa: Hai Paulina, terima kasih banyak pertanyaannya ya. Saya meyakini penampilan fisik bagi seorang news presenter adalah nilai tambah, bukan hal utama karena yang menjadi tolok ukur utama news preenter adalah kredibilitas. Penampilan tidak bisa dinafikan juga penting, tapi sekali lagi bukan yang terpenting. Mengenai reporter yang masih belum maksimal menyampaikan reportase tentu menjadi masukan untuk terus meningkatkan kualitas. Dalam memandu wawancara, kesempatan berbicara tentu seharusnya lebih banyak narasumber daripada presenter. Terkait dengan memotong pembicaraan narasumber, berdasarkan pengalaman saya hal tersebut biasanya dilakukan jika : 1) narasumber berbicara berbelit-belit secara sengaja atau tidak sengaja padahal ada narasumber lain yang juga perlu diberi kesempatan berbicara; 2) waktu yang memang terbatas. Tentu menjadi pembelajaran, baik bagi pewawancara maupun narasumber untuk memainkan peran dan berbicara substantif dalam durasi yang sudah ditentukan dan terbatas di televisi. Saya paling tertarik dengan isu politik. Terima kasih kutipan kalimatnya ya. Semoga saya bisa menjadi jurnalis yang lebih baik. Salam hangat :)

Afroh Manshur : Selamat malam dan mohon maaf, sebelumnya saya mohon maaf jika pertanyaan saya tidak ada hubungan dengan pribadi anda dan mungkin terkesan "OFFENSE". ADa beberapa hal yang perlu saya tanyakan: 1. Apakah pemilik Stasiun televisi dapat mendikte tayangan yang ditampilkan? 2. Mengenai TV One, mengapa banyak berita yang ditayangkan selalu berulang-ulang? 3. Bukankah dalam pemberitaan harus ada keseimbangan, tetapi mengapa dalam beberapa stasiun televisi "terkesan" memberatkan salah satu kubu? Mohon maaf jika memang dirasa tidak patut dijawab silakan saja CMIWW terima kasih Best Regard AFROH MANSHUR
Tina Talisa: Halo Afroh. Jika pemilik stasiun televisi mendikte tayangan yang ditampilkan, maka kerugian akan dirasakan oleh si pemilik TV itu sendiri. Media massa harus independen, bukan netral. Saya tegaskan bukan netral ya karena jika netral maka media massa tidak memiliki sikap. Media massa harus bersikap dengan intervensi seminimal mungkin dan berpihak pada kebenaran seperti yang diajarkan oleh Bill Kovach dalam prinsip-prinsip jurnalisme. Kajian mengenai media, khususnya TV biasanya berkaitan dengan tiga hal : ownership (kepemilikan), content (isi program) dan audience (pemirsa). TV adalah institusi yang harus berpegang pada kebenaran untuk kepentingan publik tetapi sebagai industri juga harus menguntungkan. Yang paling ideal adalah jika idealisme dan komersialisme dapat beriringan. Idealisme yang dilawan dengan mengalahkan independensi akan merugikan institusi media itu sendiri karena kredibilitasnya akan menurun dan pada gilirannya akan menurunkan jumlah pemirsa. Padahal jumlah pemirsa menentukan rating yang menjadi acuan pemasang iklan dan pada gilirannya menghasilkan uang bagi keberlangsungan dan peningkatan kualitas TV sebagai industri. Wakil pemimpin redaksi tvOne sering mengatakan : jangan jadi anak durhaka bagi pemilik, tapi yang paling penting adalah jangan khianati pemirsa.Mengenai tayangan yang diulang-ulang, Afroh bisa coba menyaksikan stasiun televisi berjaringan internasional seperti CNN dan BBC.Penayangan ulang berita-beritanya jauh lebih sering dibandingkan tvOne dan stasiun-stasiun televisi lain di Indonesia. Yang pasti tidak ada aturan hukum yang dilanggar oleh tvOne jika menayangkan gambar berulang-ulang, tidak ada halal atau haram soal itu. Apalagi jika menggunakan asumsi tidak semua orang menyaksikan televisi sehari penuh, maka bisa saja ada yang menonton televisi pagi hari, tapi tidak di malam hari, demikian sebaliknya, sehingga bagi mereka gambar tidak dirasa diulang-ulang. Pemberitaan sejatinya memberikan kesempatan kepada semua pihak dengan porsi yang setara sehingga biarkan publik yang menilai dan menentukan sikap mereka. Mengenai keberpihakan dalam kasus tertentu, saya perlu menggambarkan bagaimana televisi di Amerika Serikat secara terbuka menunjukkan keberpihakannya seperti saat pemilihan presiden tahun 2008 lalu. Salam hangat :)

Feby Tubagus Priyatna : Salam hangat dan salam kenal mbak Tina. Saya Feby beswan Djarum angkatan 25 dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Sebelumnya mungkin mbak sudah banyak cerita tentang mbak, karena mbak ini sudah 2 kali mengisi acara di UIN Bandung (Mudah-mudahan mbak masih ingat. hehe..). Ada beberapa pertanyaan mbak yang ingin saya tanyakan. Mbak Tina ini kan basic akademiknya di Kedokteran gigi, kenapa sih mbak bisa berminat beralih profesi menjadi presenter TV? apakah profesi dokter gigi digeluti atau tidak oleh mbak? klo digeluti bagaimana cara membagi waktunya? sedangkan seorang presenter TV harus siap diterjukan dilokasi peliputan manapun. Selanjutnya, di TV itu saya lihat Mbak sangat tegas dan tajam dalam menggali informasi dari narasumber, mulai dari politikus, dll. Bagaimana sih mbak cara menjaga citra mbak pribadi dan perusahaan tempat mbak bekerja (TV One) dengan para narasumber agar tetap terjalin baik? Mungkin cukup segitu mbak pertanyaannya. Terima kasih mbak atas jawabannya. Oh iya, kapan nih mbak ngisi acara di UIN Bandung lagi?  ditunggu ya mbak. hehehe...terima kasih mbak dan beswan djarum/djarum beasiswa plus.
Tina Talisa: Salam kenal juga Feby. Saya memang tidak pernah bercita-cita jadi jurnalis awalnya. Saya tidak menyelesaikan pendidikan Profesi Kedokteran Gigi atau biasa disebut ko-ass di Unpad karena saya sudah mempertimbangkan banyak hal sebelum akhirnya mantap pada pilihan di dunia jurnalistik. Saya sempat ragu di tahun pertama bekerja sebagai jurnalis (saat itu masih di Trans TV). Saya cuti selama setahun dari dunia kedokteran gigi dan akhirnya menentukan sikap meninggalkannya secara permanen dengan dua pertimbangan : passion dan kontribusi. Saya merasa passion (hasrat) saya di bidang jurnalistik dan saya yakin bisa memberikan kontribusi optimal melalui bidang ini dengan potensi yang dimiliki. Saya selalu berusaha menjaga profesionalisme saya sebagai jurnalis, baik sebagai individu maupun atas nama institusi. Di luar layar televisi ketika tidak mewawancarai para narasumber, saya upayakan menjaga silaturahmi dengan mereka di kesempatan lain, baik itu hanya bertanya kabar atau berdiskusi soal hal-hal yang sedang ramai menjadi pemberitaan. Saya bahkan menjadi bersahabat baik dengan sejumlah narasumber tetapi mereka menghargai profesionalisme saya, sehingga tidak pernah mengintervensi saya untuk tidak kritis atau tajam bertanya saat melakukan wawancara. Semoga saya bisa datang lagi ke UIN Bandung ya. Salam hangat :)

Muhammad Ilyas : hai, mbak tina yang cantik!!! apa mimpi terbesar anda dalam hidup ini??? makasih ya... "tetap di apa kabar indonesia malam" hihi...
Tina Talisa: Hai Muhammad Ilyas. Mimpi terbesar saya adalah menjadi manusia yang bermanfaat dan terus-menerus memperbesar manfaat diri saya untuk orang lain. Salam hangat.

Irwan Sitinjak : well, this is the next journalist profile by the way. I'm Glad :D Dunia jurnalistik semakin menunjukkan perkembangannya secara dramatis. Mulai dari nilai berita yang melekat di setiap pemberitaan maupun peliputan hingga orang yang memberitakannya (as known as JURNALIS). Belakangan, jika kita lihat realita media secara objektif (hal ini termasuk dalam elemen jurnalisme kontemporer dan bahasa berita yang saya pelajari), tak jarang tampak unsur kepentingan dan kepemilikan media turut ambil bagian dalam proses penyajian berita.Mulai dari peliputan atau pencarian berita, pelaporan, dan penyajian berita. Nah, sejak anda menjadi seorang jurnalis, bagaimana sikap anda dalam mengimbangi ideologi media (termasuk pemilik)dan ideologi anda yang saya yakin sesuai dengan fungsi media sebagai kontrol sosial serta apakah anda setuju jika ada sebuah UU yang mengatur pendirian media (yg di Indonesia sangat gampang skrng ini, you have money, you're gonna make it) untuk memperbaiki etika media yang tahun 2010 di nilai sejumlah praktisi mengalami penurunan. Dan satu lagi (sebenarnya banyak ;p), bagaimana pendapat anda tentang jurnalis amplop ? Thank's and keep on moving :) Warm regards, Irwan, Beswan DSO Medan

Tina Talisa: Irwan, terima kasih pertanyaannya ya. Menurut saya kita perlu mensyukuri kebebasan pers yang kita nikmati di era demokrasi saat ini meski tentu perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan terus-menerus agar semakin berkualitas. Saya sepakat dengan pendirian media massa yang mudah karena saya yakin masyarakat Indonesia semakin cerdas, bahkan kalangan menengah ke bawah. Media massa akan melalui seleksi alam. Jika tidak berkualitas maka lambat laun akan mati dengan sendirinya. Kita ingat di awal reformasi betapa suburnya perkembangan kuantitas media cetak, tetapi kita saksikan sendiri sekarang tidak sampai separuhnya yang bisa bertahan. Semuanya karena seleksi alam. Publik tidak bisa "dibeli" untuk mempercayai sebuah institusi media. Kredibilitas menjadi pertaruhan bagi media massa jika ingin bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat. Saya sangat tidak sepakat dengan jurnalis amplop karena menggadaikan profesionalisme. Salam hangat :)

Sumber : djarumbeasiswaplus.org


Share this post :
 
Support : Creating Website | Kang Lintas | Lintas Jabar
Copyright © 2011. BERITA JABAR - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Kang Lintas
Proudly powered by Berita Bogor